DINAR
Dinar memang berbeda. Kala sebagian besar remaja perempuan seusianya senang mengidolakan para musisi dan bintang-bintang film, Dinar justru lebih senang ikut Paman Arthur mencari buku-buku bekas. Bukan sekadar buku bekas, tetapi buku bekas yang mempunyai nilai seni dan sejarah.
Kali ini, Dinar bersama Paman Arthur dan Dewi, istri sang paman, berkeliling pasar buku bekas di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Cukup lama berkeliling, sampai akhirnya hanya satu buku yang berhasil dibeli Paman Arthur. Itu pun setelah tawar-menawar cukup lama. Setelah itu, bersama Dewi dan Dinar, mereka menuju salah satu rumah makan di dekat tempat itu.
“Dinar juga lapar kan?” tanya Dewi.
BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Kak BE
2. Serial Kisah Pramuka : ROSI
3. Serial Kisah Pramuka : Kak Supriono alert-info
Kedua pasangan yang tak mempunyai anak itu memang sangat sayang pada Dewi, anak dari adik Paman Arthur. Apalagi Dewi juga tampaknya senang diajak ke sana ke mari oleh pasangan itu. Seperti sekarang, setelah berburu buku bekas – walaupun kurang berhasil – mereka kini memasuki rumah makan yang menyajikan menu khas masakan Sunda.
Baru saja mereka duduk, seorang lelaki menghampiri.
“Maaf, Pak. Bapak senang mengumpulkan buku-buku bekas ya?” tanya lelaki itu, “Tadi saya lihat bapak membeli buku bekas.”
“Ya, kenapa? Saya beli sebagian untuk saya koleksi sendiri, sebagian lagi saya jual kepada teman-teman sesama kolektor buku,” jawab Paman Arthur kepada lelaki tersebut.
“Perkenalkan, Pak. Saya Prakoso. Kebetulan di rumah saya banyak buku bekas, peninggalan orangtua saya yang sudah meninggal. Saya sendiri bukan penggemar buku, hanya baca beberapa saja. Siapa tahu bapak mau membelinya.” Prakoso menawarkan buku-buku milik keluarganya.
Begitulah, dua hari kemudian Paman Arthur, Dinar, dan Yanti, seorang teman Dinar, telah berada di rumah Prakoso. Hasil dari rumah Prakoso, Paman Arthur berhasil memborong lebih dari 50 jenis buku. Ada yang tebal dan berukuran besar, ada juga yang tipis dan berukuran kecil. Dinar dan Yanti diberi kesempatan Paman Arthur untuk masing-masing mencari dua buku pilihan mereka.
Dinar merasa senang sekali, karena berhasil menemukan dua buku tentang Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell. Sebagai seorang Pramuka Penggalang Garuda* dan remaja yang senang membaca buku, mendapatkan buku bacaan yang ada hubungannya dengan kepanduan, memang membuatnya bersemangat.
Buku yang ditemukan Dinar adalah buku Seri Tokoh Dunia terbitan PT Elex Media Komputindo berjudul “Lord Baden Powell”. Buku cerita bergambar dalam Bahasa Indonesia itu menceritakan kisah hidup Bapak Pandu Sedunia tersebut. Lebih menyenangkan lagi bagi Dinar, buku itu adalah terbitan cetakan pertama pada Mei 2000. Bagi banyak kolektor buku, mendapatkan buku cetakan pertama merupakan sesuatu yang menyenangkan, karena bernilai lebih tinggi dibandingkan cetakan-cetakan berikutnya.
Buku kedua yang ditemukan Dinar di rumah Prakoso adalah buku berbahasa Inggris berjudul “The Wolf That Never Sleeps – A Story of Baden-Powell”**. Buku karya Marguerite de Beaumont yang diterbirkan pertama kali pada November 1946, merupakan salah satu buku langka yang banyak dicari para kolektor. Buku itu menjadi menarik karena diberi kata pengantar oleh Lady Olave Baden-Powell, istri Lord Baden-Powell.
Di rumah, Dinar segera membuka buku berbahasa Inggris itu. Tiba-tiba selembar kertas terlipat jatuh dari antara halaman-halaman buku yang dibuka Dinar itu. Gadis itu mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya. Ternyata isinya tulisan tangan dengan tinta. Dilihat dari gaya tulisannya, Dinar langsung dapat menebak pasti yang menulis adalah orang tua. Mirip dengan tulisan tangan kakek Dinar.
Setelah menghubungi kembali Prakoso, Dinar mendapatkan informasi, kemungkinan itu adalah catatan dari seorang pandu tua yang menyerahkan koleksi bukunya kepada ayah Prakoso. “Dulu pernah ada, seorang kakek yang mengatakan dia bekas pandu, dan menyerahkan setumpuk buku pada almarhum ayah saya,” ujar Prakoso.
“Berarti ini kertas penting, catatan bersejarah.” Dinar segera membawa lembaran kertas itu yang telah dimasukkannya ke dalam folder plastik ke gugusdepannya. Kak Indah, Pembina Pramuka Pasukan Penggalang di sana, langsung berbinar-binar melihat kertas yang dibawa Dinar itu.
“Ini catatan sejarah penting,” ujar Kak Indah, “Di sini dituliskan mengenai Jambore Nasional pertama yang diadakan di negara kita, setelah Indonesia merdeka.”
Catatan itu menceritakan Jambore Nasional I yang diadakan di kawasan Pasar Minggu, di bagian selatan Kota Jakarta, pada 10 sampai 20 Agustus1955. Jambore di bumi perkemahan Karang Taruna tersebut diadakan oleh Ikatan Pandu Indonesia yang disingkat Ipindo, suatu federasi yang beranggotakan berbagai organisasi gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia.
Sekitar enam ribu peserta dari 82 organisasi gerakan pendidikan kepanduan ikut hadir dalam perkemahan sepuluh hari itu yang diadakan untuk menyambut Dasa Warsa Kemerdekaan RI. Pada 17 Agustus 1955, seluruh peserta mengadakan upacara memperingati 10 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI dengan upacara bendera yang khidmat dan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
Dalam catatan itu juga dceritakan tentang terbitnya bulletin berisi informasi tulisan dan gambar-gambar tentang jambore, yang diberi nama Buletin Belantara Jambore ke-1. Para peserta diceritakan sangat senang dengan adanya bulletin yang banyak berisi kisah-kisah unik, lucu, dan menarik.
Namun yang membuat Kak Indah menjadi semakin berbinar matanya, ketika di bagian bawah lembar kertas catatan itu tertempel dua keping kertas kecil. Itu adalah dua dari lima prangko yang diterbikan khusus menyambut Jambore Nasional ke-1 tersebut. Bukan sekadar prangko biasa, tetapi ini adalah prangko cetak percobaan. Cetakan yang dibuat sebagai contoh dan percobaan sebelum prangko sebenarnya dicetak dan diterbitkan.
“Bagi filatelis, prangko cetak percobaan atau sering disebut proof ini harganya mahal sekali. Entah dari mana bapak yang menulis catatan ini mendapatkannya dan menempelkan pada kertas catatan ini,” jelas Kak Indah.
Setelah melalui pembahasan dengan pihak gugusdepan, Paman Arthur, orangtua Dinar, dan sejumlah kolektor, akhirnya lembaran kertas itu dilelang oleh sebuah balai lelang di Jakarta. Siapa sangka, kertas pada buku yang dibeli Paman Arthur seharga Rp 70.000 itu, ternyata laku terjual dengan harga cukup fantastis. Tawaran tertinggi Rp 10 juta, akhirnya dimenangkan seorang kolektor ternama.
Uang hasil penjualan kertas tersebut kemudian digunakan untuk kegiatan bakti sosial pihak gugusdepan tempat Dinar bergabung. Mereka mendirikan perpustakaan di wilayah itu. Ruang perpustakaannya sudah ada milik kelurahan setempat. Pihak gugusdepan kemudian melengkapi dengan menyediakan rak buku, meja, dan kursi, serta satu unit komputer untuk dipakai petugas perpustakaan. Buku-bukunya sendiri disumbang oleh masyarakat setempat, termasuk tentu saja Paman Arthur. Dinar pun tak mau ketinggalan, sejumlah buku cerita bergambar miliknya, disumbangkan untuk menjadi koleksi perpustakaan.
“Terima kasih, Dinar,” kata Kak Indah.
Catatan Kaki:
*Pramuka Penggalang adalah golongan pramuka yang berusia antara 11 sampai 15 tahun, dan Pramuka Penggalang Garuda adalah tingkatan tertinggi pada golongan Pramuka Penggalang. alert-info
**The wolf that never sleeps atau dapat diterjemahkan sebagai “serigala yang tak pernah tidur” adalah julukan yang diberikan kepada Baden-Powell ketika dia berdinas menjadi komandan pasukan Kerajaan Inggris di Mafeking, suatu wilayah di Afrika Selatan. Dikepung oleh pasukan lain selama 217 hari, Baden-Powell tetap menjaga semangat anggota pasukannya. Bisa dikatakan baik pagi, siang, dan malam, Baden-Powell selalu ada bersama pasukannya yang menjaga benteng mereka untuk tidak direbut pasukan lawan. Melihat semangat Baden-Powell yang berjaga hampir setiap waktu, penduduk setempat menamakannya “Impeesa”, yang kemudian diartikan sebagai “the wolf that never sleeps”. alert-info
