ROSI
“Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.” Tulisan tangan dengan tinta merah itu terdapat pada halaman sampul sebuah buku catatan tua yang dipegang Rosi. Gadis itu baru saja menerima buku catatan itu dari Mira, sepupunya yang lebih tua.
“ini buku catatan lama, mungkin kamu mau membacanya,” tutur Mira ketika menyerahkan buku itu kepada Rosi.
Mira tahu bahwa Rosi senang mengumpulkan catatan-catatan lama yang berhubungan dengan gerakan pendidikan kepanduan. Sejak setahun ini, Rosi giat menulis berbagai hal tentang sejarah gerakan tersebut. Apalagi, tahun ini gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia yang kini bernama Gerakan Pramuka, genap berusia 60 tahun.
BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Kak BE
2. Serial Kisah Pramuka : RAPA
3. Serial Kisah Pramuka : Kakek DJOKO
Masalah kecil dibesar-besarkan sehingga menjadi perseteruan antara organisasi satu dengan lainnya. Apalagi sebagian organisasi itu merupakan onderbouw* dari partai politik, yang berbeda pandangan politiknya satu sama lain. Bisa dikatakan perseteruan itu akhirnya menyebabkan semangat persaudaraan antarpandu menjadi hilang.
Padahal, para pandu di mana pun mempunyai motto “Scout is a friend to all and a brother to every other Scout”, atau bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, “Seorang pandu adalah sahabat bagi semua dan saudara bagi pandu lainnya.” Apa pun perbedaan yang ada, suku, agama, warna kulit, ras, dan perbedaan lainnya, bukan menjadi penghalang bagi setiap pandu untuk bersaudara dengan pandu lainnya.
Rosi sedang mencari data yang lebih lengkap tentang masalah itu. Tak heran, gadis itu begitu senang mendapatkan buku catatan dari Mira. Buku catatan yang ternyata memang menuliskan bagian tentang masalah yang dihadapi organisasi gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia pada akhir 1950-an. Catatan dari seorang yang pernah ikut kepanduan, dan orang itu tak lain dari Warman, kakek Rosi dan Mira.
Tulisan tangan dengan tinta merah “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna” pada sampul buku catatan itu, adalah peribahasa yang terkenal dan tampakna dipilih Kakek Warman sebagai semacam judul bagi buku catatannya.
“Ya, kita harus berpikir dulu dengan cermat dan tidak terburu-buru sebelum melakukan sesuatu, agar jangan menyesal di kemudian hari. Penyesalan yang tak berguna lagi,” ujar Mira menjelaskan arti kalimat tersebut.
Di dalam buku itu, Rosi mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap tentang tulisan pada sampul buku catatan tersebut. Kakek Warman menceritakan kemelut di kalangan para pandu, yang sebagian mulai dipengaruhi pandangan kelompok yang tampaknya beraliran komunis.
“Baden-Powell dihina mereka, kegiatan kepanduan dianggap kebarat-baratan, kurang nasionalisme Indonesia, jadi sebaiknya kepanduan di Indonesia dihapuskan dari Baden-Powellisme yang erat dengan kapitalisme dan imperialisme,” tulis Kakek Warman dalam buku catatannya.
Belakangan, organisasi gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia memang mencoba melepaskan diri dari sisa-sisa Baden-Powellisme. Bahkan dinyatakan secara jelas dalam Ketetapan MPRS No II/MPRS/1960 yang meminta agar kepanduan di Indonesia dibebaskan dari sisa-sisa Baden-Powellisme.
Apalagi ketika Indonesia terlibat dalam perselisihan dengan negara Malaya**. Mengingat Malaya merupakan salah satu negara Persemakmuran Inggris, maka semangat untuk menghapus jejak Inggris di Indonesia semakin menguat. Termasuk dalam gerakan pendidikan kepanduan, yang memang awalnya berasal dari Inggris dan digagas oleh Baden-Powell, seorang purnawirawan jenderal Angkatan Darat Kerajaan Inggris.
Demikian kuatnya keinginan untuk melepaskan diri dari Baden-Powellisme, sampai Gerakan Pramuka menyatakan tidak aktif dalam gerakan pendidikan kepanduan sedunia. Baru pada 1967, Gerakan Pramuka kembali aktif.
“Dan mereka yang dulu ikut menentang Baden-Powell dan meminta agar Baden-Powellisme dihapuskan dari kepanduan Indonesia, akhirnya menyesal,” tulis Kakek Warman.
Baden-Powell sendiri, walaupun dia yang menggagas kegiatan kepanduan, tetapi sesungguhnya tak ingin dipuja, apalagi seperti didewakan, dengan menganggap kegiatan kepanduan sebagai Baden-Powellisme. Bagi Baden-Powell, gerakan pendidikan kepanduan adalah untuk mendidik anak dan remaja menjadi manusia yang berguna baik bagi diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Melalui gerakan pendidikan kepanduan itu, para pandu dari seluruh dunia diajak untuk menganggap pandu lainnya adalah saudara, dan dengan demikian memperluas persaudaraan universal yang membantu terciptanya perdamaian dunia.
Baden-Powell sendiri pernah mengatakan, yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, “Dalam semua (kegiatan kepanduan) ini, semangatlah yang penting. Ketika kita benar-benar menerapkan kode kehormatan berupa janji Pramuka kita, untuk akan membantu menghilangkan semua kesempatan untuk berperang dan perselisihan di antara bangsa-bangsa.”
Meskipun pernah menjadi tentara, Baden-Powell melihat bahwa perang adalah perbuatan seharusnya dihindari. Justru melalui persaudaraan antarbangsa, dapat dicapai perdamaian yang membuat semua bangsa berbahagia.
“Mereka kecele***. Dikira dengan menghilangkan gagasan Baden-Powell akan membuat kepanduan di Indonesia lebih baik,” tulis Kakek Warman.
“Kakek benar.” Rosi sependapat dengan tulisan kakeknya.
Catatan Kaki:
*Onderbouw sebenarnya berarti basis atau fondasi, tetapi dalam dunia keorganisasian, onderbouw sering diartikan sebagai bagian atau bawahan dari organisasi utama yang ada.
**Malaya adalah nama negara Malaysia ketika Singapura masih bergabung di dalamnya.
***Kecele berarti tidak mendapatkan apa yang diharapkan.
Tulisan Kak Berthold/info/button
