INTAN
Intan benar-benar tertekan. Dia dan tiga temannya, tersesat dalam perjalanan kembali ke perkemahan. Tadi pagi, Intan bersama ketujuh temannya dari Regu Matahari, melakukan pendakian ke puncak gunung di dekat perkemahan mereka. Meskipun tidak terlalu mulus, tetapi akhirnya mereka berhasil juga mencapai puncak.
Bersama Regu Edelweis, mereka adalah dua regu putri pertama yang mencapai puncak gunung itu.Tentu saja yang mendaki bukan hanya regu-regu Pramuka Penggalang*. Beberapa pembina pramuka ikut mendampingi. Namun, sampai di puncak, hujan turun dengan derasnya.
“Cepat turun,” ajak seorang pembina pramuka.
Mereka pun turun beriringan untuk kembali ke lokasi perkemahan. Mengenakan jas hujan dan sebagian dengan ponco, mereka pun turun dengan berhati-hati. Jalan setapak menjadi licin, menyebabkan beberapa pramuka terpeleset. Petir yang menyambar berkali-kali, menambah sulitnya perjalanan turun dari puncak gunung itu.
BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Sita
2. Serial Kisah Pramuka : Soeprapto
3. Serial Kisah Pramuka : Dion
Belum lagi ditambah kabut yang semakin menebal. Jarak pandang sangat terbatas. Beberapa pembina pramuka yang berada di bagian depan rombongan, mengeluarkan lampu senter dan memasangnya di kepala masing-masing. Para Pramuka Penggalang yang membawa lampu senter kepala juga melakukan hal yang sama, sementara sebagian lainnya memegang lampu senter di tangannya.
Pembina pramuka lainnya kemudian memutuskan untuk menggunakan tali pramuka, dan tiap pramuka diminta bergandengan memegang tali itu sambil berjalan turun. Diharapkan dengan memegang tali dan berjalan bersama, semuanya tetap dalam satu barisan dan tidak ada yang ketinggalan.
Sayang, rencana itu tak berjalan mulus. Sekali lagi petir menyambar. Kali in petir bahkan merusak dan menumbangkan sebatang pohon cukup besar.
“Awaaasss!”
Para pramuka menghindar, dan akibatnya pegangan pada tali dilepaskan, saat mereka menyelamatkan diri. Intan dan tiga temannya terpisah dari yang lain. Mereka berlari mencoba menyelamatkan diri, tetapi justru tersesat. Di tengah hutan yang cukup lebat dan hujan deras yang masih mengucur, Intan, Dewi, Nindya, dan Diana, terpaksa mencari tempat berteduh.
Mereka menemukan ceruk tebing yang agak terlindung dari air hujan. Intan mengajak ketiga temannya untuk berlindung di sana. Mereka akhirnya menemukan tempat untuk berlindung. Dewi membagi minuman dan kue-kue yang dibawanya. Perjalanan jauh mendaki gunung dan kini terburu-buru turun, rupanya menyebabkan rasa haus dan lapar.
“Nggak usah, saya bawa minuman sendiri,” ujar Intan ketika Dewi menyodorkan tempat minumnya.
Diana juga menolak dan mengeluarkan botol minumnya. Hanya Nindya yang menyambut gembira dan langsung meneguknya. Botol minum milik Nindya terjatuh entah di mana, dan dia sungguh bersyukur mendapatkan minuman dari temannya.
Entah berapa lama mereka di sana, sampai akhirnya hujan mulai mereda. Belum berhenti sama sekali, tetapi curah hujan tidak sederas tadi.
“Ke mana teman-teman yang lain?”
Intan merasa khawatir, karena sudah cukup lama belum ada yang mencari mereka. Akhirnya Intan mengajak ketiga temannya untuk kembali berjalan menuju lokasi perkemahan. Belum beberapa lama melangkah, mereka menemukan jalan bercabang. Intan mencoba mengamati, siapa tahu ada bekas jejak sepatu dalam jumlah banyak di salah cabang jalan. Itu berarti jalan yang mungkin dilalui teman-temannya. Namun, tak ada bekas jejak apa pun.
“Pasti karena hujan deras yang sudah menghapus semua jejak,” ujar Nindya.
“Jadi ke mana kita sekarang? Pilih jalan ke kanan atau ke kiri?” tanya Intan.
Tak ada yang menjawab, sementara hujan yang tadinya mulai reda, kini menderas kembali. Daripada berlama-lama di situ dan terus kehujanan tanpa ada tempat berlindung, Intan memutuskan memilih jalan ke arah kanan. “Ke sini saja, ayo ikut saya,” ajak Intan.
Sayangnya, pilihan Intan tidak tepat. Jalan ke arah kanan tidak menurun ke lokasi perkemahan, tetapi justru semakin masuk ke dalam hutan. Teman-temannya mulai marah kepada Intan. “Aduh, ke mana kita ini? Kok makin nggak jelas jalannya,” keluh Nindya.
Intan menjadi tertekan, dia merasa bersalah mengajak teman-temannya menuju arah jalan yang salah.
“Sssttt, diam dulu.” Tiba-tiba Dewi berkata.
Dari kejauhan terdengar suara seorang atau lebih sedang melangkah. Injakan mereka pada daun dan patahan ranting, menimbulkan bunyi. Intan segera mengambil lampu senternya dan mulai menyorot ke arah suara orang berjalan itu. Dia menyorotkan lampu senternya dengan berirama, tiga kali pendek, tiga kali sorotan panjang, dan tiga kali pendek kembali. Sorotan lampu berirama yang menggunakan isyarat Morse**, membentuk hurut S-O-S***, meminta bantuan.
“Pukul batu, pukul batu di tebing,” perintah Intan kepada ketiga temannya.
Melalui sorotan lampu senter dan pukulan batu, mereka mengirimkan pesan kepada siapa pun yang mereka dengar sedang melangkah di dalam hutan. Intan dan teman-temannya gembira, akhirnya para pembina pramuka yang rupanya sudah mencari sejak tadi akan menemukan mereka.
Jejak langkah terdengar makin dekat, seorang lelaki setengah baya dengan topi lebar dan tongkat kayu berada di hadapan mereka.
“Pak, tolong, Pak. Kami tersesat,” ujar Intan, yang kemudian menceritakan mereka rombongan dari para pramuka yang mendaki gunung dan berkemah di kaki gunung itu,”Tolong kami, Pak. Tolong kami mau kembali ke perkemahan kami.”
Lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya mengajak keempat Pramuka Penggalang putri mengikuti langkahnya. Tidak berapa lama kemudian, Intan dan teman-temannya telah melihat lokasi perkemahan mereka. Tenda-tenda yang berdiri di sana, menunjukkan itulah lokasi tempat mereka berkemah.
“Terima kasih, Pak,” ujar Intan, tetapi lelaki tadi telah pergi, meninggalkan Intan dan teman-temannya yang akhirnya berhasil mencapai lokasi perkemahan mereka.
Keempatnya disambut gembira oleh semua yang di sana. “Kak Dinar, Kak Wati, sudah ketemu. Intan, Dewi, Nindya, dan Diana sudah ketemu, mereka sudah ada di perkemahan kembali.” Segera Kak Ipeh mengabarkan melalui telepon kepada rombongan Kak Dinar dan Kak Wati yang rupanya masih mencari keempat Pramuka Penggalang itu di dalam hutan.
Sambil minum teh hangat, Intan menceritakan pengalamannya ditolong seorang lekaki setengah baya bertopi lebar yang membawa tongkat kayu. Kak Ipeh terlihat agak terkejut mendengar kisah Intan. “Pakai baju apa bapak itu?” tanya Kak Ipeh.
Intan baru menjawab, “Bapak tadi memakai baju biru”, saat Kak Ipeh mengajak Intan ke tenda besar. Di situ ada seorang lelaki bertopi lebar dengan baju biru yang membawa tongkat kayu.
“Perkenalkan ini Pak Amran, dia penjaga hutan yang baru datang setelah mendengar ada anak pramuka yang tersesat di hutan. Pak Amran sedang menanyakan informasi lebih detil tentang kejadian itu, tetapi ternyata kamu yang tersesat sudah kembali,” ujar Kak Ipeh memperkenalkan Pak Amran pada Intan.
Wajah Pak Amran persis sama dengan lelaki yang menolong Intan dan teman-temannya tadi.
*Pramuka Penggalang adalah golongan pramuka yang berusia 11 sampai 15 tahun.
**Isyarat Morse adalah isyarat pesan dalam bentuk huruf berupa titik dan garis. Bisa dilakukan dengan ketukan, lampu, maupun berbagai cara lainnya.
***SOS singkatan dari Save Our Soul, adalah isyarat pesan untuk meminta bantuan dalam keadaan darurat. alert-info
Tulisan Kak Berthold/info/button Kisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success