Serial Kisah Pramuka : Bram

Serial Kisah Pramuka : Bram


BRAM

Bram membuka kotak besi di loteng rumah kakeknya. Sejak kakeknya meninggal dua tahun lalu, baru kali ini Bram berkunjung lagi ke rumah itu. Tentu tidak seorang diri, Bram datang bersama ayah dan ibunya. Kakak Bram yang bekerja di sebuah perusahaan pemindahan barang juga ikut hadir.

Hari ini keluarga ayah Bram akan membersihkan rumah kakeknya. Sesuai dengan akte warisan yang diterima, rumah itu diberikan kepada ayah Bram sebagai anak satu-satunya dari sang kakek. Namun, ayah dan ibu Bram bersepakat untuk menjual saja rumah itu. Pertama, tak ada yang sempat mengurus rumah itu. Kedua, hasil penjualannya akan ditabung untuk nanti dibagikan kepada Bram dan kakaknya.

“Paling tidak, biaya sekolah dan kuliahmu nanti sudah dapat tercukupi dari hasil penjualan rumah kakek,” ujar sang ayah kepada Bram.

BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Pranoto
2. Serial Kisah Pramuka : Soemardjo
3. Serial Kisah Pramuka : Hadi

Kini, Bram yang sejak pagi ikut membantu membersihkan rumah kakeknya, sedang berada di loteng rumah itu. Bagian atas rumah itu ternyata dijadikan semacam gudang. Ada berbagai barang bertumpuk di situ, salah satunya adalah kotak besi berwarna hijau lumut.

“Ah, harta karun,” ujar Bram kepada dirinya sendiri, sambil membayangkan kisah-kisah dari sejumlah film tentang penemuan harta karun di dalam kotak-kotak besi semacam itu.

Di dalam kotak itu memang ada berbagai barang. Satu hal yang menarik perhatian Bram adalah sebuah album. Bram membukanya, pandangannya terkesiap melihat isi album itu.

“Ini benar-benar harta karun!”.

Bram turun dari loteng dengan membawa album itu dan memperlihatkan kepada kedua orangtuanya.

“Ya, ini sebagian koleksi opamu. Dia senang mengumpulkan kartu-kartu pos bergambar semacam ini, di samping prangko dan semacamnya. Rupanya hobi opamu ini menurun kepadamu ya, Bram,” ujar sang ayah.

Bram memang merupakan salah satu kolektor prangko yang sering disebut sebagai filatelis. Koleksinya cukup beragam, mulai dari prangko, sampul (amplop) surat, dan juga kartu-kartu pos. Meskipun Bram baru duduk di kelas 9, tetapi koleksinya sudah cukup banyak. Dia juga terbilang rajin menimba ilmu pengetahuan tentang filateli. Baik dengan bertanya kepada para filatelis senior, maupun dengan mencari melalui internet.

“Ini kartu-kartu pos bergambar dari Jambore Dunia 1937 sangat berharga. Aku pernah lihat di eBay dan delcampe*, harganya cukup mahal. Rata-rata di atas limaratus ribu rupiah, bahkan ada yang sejuta lebih,” ujar Bram.

“Kalau begitu, kamu simpan saja untuk koleksimu, Bram.” Sang ayah memberi saran, dan tentu saja langsung disetujui Bram. Senang sekali bisa mendapat benda berharga semacam itu.

Sementara Bram dan ayahnya bercakap-cakap, ibu Bram yang sejak tadi membereskan peralatan dapur ikut masuk ke ruang tamu. Dia rupanya ikut mendengarkan percakapan antara suami dan anaknya.

“Mana kartuposnya, Bram? Coba mama lihat.”

Bram memperlihatkan album itu kepada ibunya.

“Oh, ini bukan sekadar koleksi opamu. Ini barang kenangan opamu. Dulu opamu pernah ikut Jambore Dunia 1937 di Belanda.” Sang ibu kemudian menceritakan pengalaman kakek Bram mengikuti Jambore Kepanduan Sedunia V di Vogelenzang, Belanda, pada 1937.

Ibunya bercerita tentang pengalaman para pandu dari Hindia-Belanda** mengikuti jambore dengan menggunakan kapal MS Dempo. Berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, dan baru tiba hampir dua bulan kemudian di Pelabuhan Rotterdam, Belanda.

“Tapi kok opa bisa ikut ya? Padahal zaman penjajahan pasti hanya anak-anak Belanda yang ikut mewakili Hindia-Belanda ya, mam.” Wanda, kakak Bram, ikut berkomentar.

“Oh, jangan salah. Kontingen Hindia-Belanda bukan hanya terdiri dari anak-anak orang Belanda, tetapi banyak juga kaum bumiputera kita yang ikut serta,” jelas sang ibu, kemudian menambahkan bahwa selain anak-anak Belanda, dalam kontingen itu ada pula para pandu Javaansche Padvinders Organisatie, organisasi pendidikan kepanduan yang didirikan Mangkunegara VII dari Solo. Juga ikut dalam kontingen itu, sejumlah pandu asal Maluku, keturunan Tionghoa, dan dari berbagai suku lainnya di Indonesia.

“Mama benar. Ini di kartu-kartu pos bergambar koleksi opa, ada foto pandu Ambon, lalu ada berbagai suku bangsa yang ikut jambore itu.” Bram membenarkan keterangan ibunya, sambil memperlihatkan koleksi kartu pos di dalam album milik opanya.

“Aneh juga ya. Yang Wanda tahu mereka kan mestinya dari NIPV***, organisasi yang didirikan orang-orang Belanda. Bukankah NIPV tidak senang dengan pandu-pandu yang bukan orang Belanda?” tanya Wanda.

Sang ibu tersenyum, kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya NIPV bukan tidak senang ada pandu yang bukan orang Belanda, hanya karena tekanan dari pemerintah pendudukan. Pemerintah Hindia-Belanda curiga dengan organisasi pendidikan kepanduan yang didirikan kaum bumiputera, karena mereka mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

“Tapi kalau para pandu itu sendiri sebenarnya menganggap pandu lain adalah teman mereka,” jelas sang ibu.

“Bukan sekadar teman, tapi saudara. Itulah sebabnya di kepanduan yang sekarang di Indonesia dinamakan Gerakan Pramuka, panggilannya adalah kakak dan adik,” tambah sang ayah, “Dan itu tercermin dalam janji para pandu sedunia.”

Wanda melihat ke arah ibunya yang menambahkan, “A Scout is a friend to all and a brother to every other Scout, atau dalam Bahasa Indonesia…”

“Seorang pramuka adalah teman bagi semua dan saudara untuk setiap pramuka lainnya.” Bram memotong dan melanjutkan perkataan ibunya.

“Ya betul, bukan sekadar teman tapi saudara. Mama tahu, karena dulu sampai mahasiswa, mama juga aktif di Gerakan Pramuka,” tutur ibunya lagi.

Sang ibu masih menambahkan pengalamannya mengikuti berbagai kegiatan kepramukaan di dalam dan luar negeri. “Kita datang ke suatu acara dari berbagai tempat yan berbeda, kita juga bisa berbeda agama, beda warna kulit, bahkan kalau ikut kegiatan di luar negeri, beda pula bahasa ibu kita, tapi begitu bertemu, kita sudah seperti sahabat akrab, bahkan kemudian menjadi saudara satu sama lain,” kisah sang ibu, “Dari teman menjadi saudara.”


Catatan Kaki:

*eBay dan delcampe adalah dua balai lelang internet yang banyak menawarkan benda-benda filateli.
**Hindia-Belanda adalah nama Republik Indonesia sebelum merdeka.
*NIPV adalah singkatan dari Nederland Indisiche Padvinders Vereeniging, organisasi utama pendidikan kepanduan di Hindia-Belanda yang didirikan sejumlah orang Belanda yang menetap di negara pendudukannya. karena tekanan dari pemerintah kemudian melarang pandu dari organisasi pendidikan kepanduan non-NIPV untuk bergabung dalam kegiatan yang diadakan atau diikuti NIPV. Pemerintah Hindia-Belanda saat ini mulai curiga dengan organisasi pendidikan kepanduan yang didirikan kaum bumiputera, karena organisasi-organisasi mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia yang bisa membahayakan kelangsungan Pemerintah Hindia-Belanda. alert-info


Tulisan Kak Berthold/info/button  wYMzmJ.jpgKisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success


Post a Comment

أحدث أقدم
close
tunasmandiricorp