HADI
Pantaskah kita menyelenggarakan acara kepanduan yang dibatasi hanya untuk golongan kita saja? Bukankan gerakan pendidikan kepanduan itu sebenarnya pendidikan untuk semua, tidak membeda-bedakan golongan? Apakah kita tidak melanggar janji pandu kita yang menyatakan setiap pandu adalah saudara bagi pandu lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Hadi, salah satu pengurus Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), saat organisasinya bermaksud menyelenggarakan “All Indonesian Jamboree”. Pemikiran untuk menyelenggarakan perkemahan itu diawali ketika para pandu KBI mengadakan Perkemahan Sabtu MInggu di Pasar Minggu, Batavia*, pada pertengahan 1935.
Di malam hari, seusai berapi unggun, para pengurus Kwartir Besar KBI berkumpul. Lalu seseorang melontarkan ide untuk menyelenggarakan jambore kepanduan khusus untuk anak-anak Indonesia saja. Semua bersemangat menanggapi ide itu, dan sepakat untuk mendukung acara itu.
BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Taufik
2. Serial Kisah Pramuka : Erwin
3. Serial Kisah Pramuka : Awang
Begitu pula dengan Hadi. Namun, di balik persetujuannya, Hadi masih menyimpan sejumlah tanya di dalam hatinya. Pertanyaan yang timbul sepulang dari mengikuti perkemahan di Pasar Minggu itu. “Kalau peserta dibatasi hanya untuk golongan anak-anak Indonesia saja, lalu bagaimana dengan para pandu berkebangsaan Belanda yang berminat ikut?”
Pertanyaan Hadi itu langsung disanggah Abdul. Sahabatnya itu menganggap pertanyaan Hadi tersebut tidak perlu dipersoalkan. “Bukankah NIPV** sendiri juga melarang anak-anak pandu Indonesia untuk ikut kegiatannya?” balas Abdul.
“Tidak semua. Ada juga pandu-pandu Indonesia yang ikut dalam kegiatan NIPV,” komentar Hadi.
“Ya, tapi itu karena organisasi pendidikan kepanduan mereka berinduk pada NIPV. Namun kita di KBI tidak berinduk pada NIPV,” ujar Abdul, lalu ditambahkannya, “Jadi kalau kita mau mengadakan jambore khusus bagi anak Indonesia tentu tak ada salahnya.”
Hadi mengangguk. Kelak nama perkemahan yang tadinya disebut “All Indonesian Jamboree” diubah menjadi “Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem” disingkat Perkino. Selama lima hari, mulai 19 sampai 23 Juli 1941, Perkino diadakan di Yogyakarta. KBI Cabang Mataram menjadi panitia pelaksana jperkemahan yang berlangsung sukses itu.
Sepulang dari Perkino, Hadi ditawarkan untuk kembali ke Batavia menggunakan sepeda. Berbeda sewaktu berangkat dari Batavia ke Yogyakarta menggunakan kereta api, ketika pulang Hadi ditawari menggunakan sepeda milik salah seorang temannya.
“Kamu pakai saja sepedaku, aku masih agak lama di Yogyakarta, akan membantu ayahku membetulkan rumahnya di desa,” ujar temannya.
Temannya itu bersama 5 orang lainnya memang melakukan perjalanan dengan sepeda dari Batavia ke Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, mereka juga mempromosikan kegiatan Perkino itu kepada masyarakat dan para pandu yang mereka jumpai. Kini, Hadi yang menggantikan temannya, kembali ke Batavia bersepeda.
“Semoga aku cukup kuat,” ujar Hadi.
“Tenang saja, rombongan ini bersepeda sekuat kita saja. Kalau lelah, kita berhenti dan beristirahat,” ujar temannya.
Perjalanan dimulai dari Yogyakarta menuju Purwokerto. Di kota itu, rombongan pesepeda yang terdiri dari enam orang, akan mengadakan pertemuan. Baru setelah itu, mereka akan melanjutkan perjalanan dengan beristirahat beberapa hari di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Namun, baru saja sekitar 20 kilometer mereka meninggalkan Purwokerto, Hadi dan rombongannya dikejutkan dengan suatu peristiwa yang mendebarkan. Awalnya, Hadi mendengar letusan. Dia mengira ban sepeda salah satu temannya yang meletus. Ternyata itu adalah suara letusan senapan.
Di tepi jalan yang sepi, agak jauh ke depan, Hadi melihat seorang lelaki tergeletak. Di sampingnya terdapat tas yang terbuka, dan beberapa lembaran uang gulden berserakan. Seorang polisi Hindia-Belanda menghentikan sepeda Hadi dan teman-temannya yang ingin mendekat.
“Stop di situ! Jangan dekat-dekat,” tegas sang polisi.
Beberapa polisi lain kemudian mengangkut laki-laki yang tergeletak. Tampaknya kaki kirinya terkena tembakan, dia berjalan terpincang-pincang dipegang oleh seorang polisi di kanan dan kirinya. Lelaki itu dan tasnya dibawa ke dalam mobil, lalu dengan cepatnya meluncurlah mobil itu meninggalkan tempat tersebut.
Baru setelah itu, Hadi dan teman-temannya berani mendekat. Di tengah dan di tepi jalan itu, masih ada lembaran-lembaran uang tercecer. Hadi dan teman-temannya memungut dan mengumpulkannya.
“Wah, lumayan banyak,” celoteh seorang temannya.
“Jangan, jangan kita pakai. Ini bukan uang kita.” Hadi mengingatkan untuk tidak menggunakan uang yang mereka temui.
Perjalanan dilanjutkan kembali, sampai hari menjelang petang. Rombongan pesepeda itu memutuskan untuk beristirahat di desa terdekat yang mereka temui. “Kita minta izin kepala desa yang ada, untuk bermalam di pekarangan rumahnya atau di lapangan yang ada, yang penting kita dapat mendirikan tenda.” Kali ini Frans yang berbicara. Semua anggota rombongan sepakat dengan usul itu.
Saat mereka tiba di desa itu, alih-alih memohon izin untuk bermalam di sana, justru kepala desa yang meminta bantuan mereka. Seorang warganya sakit parah dan perlu segera diobati. Untunglah di dekat tempat itu ada seorang mantri kesehatan. Namun sayangnya, sang mantri tak memiliki obat yang dibutuhkan.
“Saya bisa dapat obatnya, ada sepuluh kilometer di kota. Tapi harus dibeli, saya tak punya cukup uang untuk membelinya,” jelas sang mantri.
Hadi merogoh saku celananya. Dia memegang uang yang dikumpulkan tadi. “Tapi saya berjanji akan menyerahkan semua uang ini ke kantor polisi besok,” Hadi berkata pada Frans.
Frans diam saja, sampai akhirnya Hadi memutuskan, “Ya, sudah. Pakai uang ini Pak Mantri, nanti bersama Frans, bapak bisa pakai sepeda saya untuk membeli obat, lalu segera kembali ke sini.”
“Lebih berdosa saya membiarkan orang sekarat. Bila uang yang terpakai terpaksa harus saya ganti, nanti saya lego saja jam tangan saya ini,” Hadi berkata lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri.
*Batavia adalah nama kota Jakarta sebelum Indonesia merdeka.
*** NIPV adalah singkatan dari Nederland Indische Padvinder Vereeniging, organisasi gerakan pendidikan kepanduan utama di Hindia-Belanda, yang umumnya beranggotakan anak dan remaja Belanda dan keturunannya. Namun, ada pula sedikit pandu keturunan Tionghoa dan bumiputera dari berbagai daerah, kut begabung dalam organisasi kepanduan yang berinduk pada NIPV. alert-info
