ERWIN
Sungguh beruntung Erwin mengikuti kegiatan kepramukaan. Bukan sekadar ikut-ikutan, tetapi dia memang serius mengikuti aktivitas dalam gerakan pendidikan kepanduan itu. Di usianya yang ke-18, Erwin bahkan sudah mencapai tingkatan Pramuka Penegak* Garuda. Tingkatan tertinggi dalam golongan Pramuka Penegak, dan telah melalui semua jenjang yang ada dalam golongan tersebut.
Dimulai dari calon Pramuka Penegak, kemudian meningkat menjadi Penegak Bantara, lalu selanjutnya Penegak Laksana, dan yang tertinggi adalah Pramuka Penegak Garuda. Tidak mudah untuk mencapai tingkatan tertinggi itu, karena harus dapat memenuhi Syarat Kecakapan Umum dan Syarat Kecakapan Khusus berkali-kali. Ditambah harus pula menyelesaikan Syarat Kecakapan Pramuka Garuda.
BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka Awang
2. Serial Kisah Pramuka Dadang
3. Serial Kisah Pramuka Burhan
Sejak kecil, Erwin memang tertarik pada kegiatan kepramukaan. Awalnya ketika SD, dia melihat album foto milik kakeknya. Dalam album foto itu ada sejumlah foto kakeknya saat menjadi pandu di masa Hindia-Belanda, ketika Indonesia belum merdeka.
Kakeknya tergabung dalam Pandoe Kebangsaan yang kemudian berubah menjadi Kepandoean Bangsa Indonesia, atau lebih dikenal dengan singkatannya,, KBI. Erwin sempat membaca catatan harian kakeknya yang telah diketik ulang ayahnya. Di situ dijelaskan, kakeknya sangat mengagumi Dr. Moewardi, Komisaris Besar KBI. Dituliskan juga oleh kakeknya, betapa bahagia sang kakek ketika dia akhirnya bisa bertemu dan berjabat tangan langsung dengan Dr. Moewardi.
Namun, belakangan kakeknya menjadi sedih. Tokoh yang sangat dikaguminya itu dan berjasa besar dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, hilang duculik sekelompok orang tak dikenal pada 1948. Saat itu, Dr. Moewardi yang mencurahkan perhatiannya untuk membantu kesehatan rakyat, terutama rakyat miskin, baru saja berangkat menuju tempat praktiknya di Rumah Sakit Jebres, Solo. Sayang, dia tak pernah sampai ke tempat yang dituju, karena diculik dan hilang tak tentu rimbanya. Kabar yang beredar, Dr. Moewardi diculik oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Sang kakek agak lega ketika akhirnya Pemerintah RI menetapkan Dr. Moewardi sebagai pahlawan nasional pada 1964. “Dokter Moewardi adalah pahlawan nasional bagi bangsa Indonesia, dan juga pahlawan bagi gerakan kepanduan di Indonesia,” tulis sang kakek dalam catatan hariannya.
Selain kakeknya yang aktif di gerakan pendidikan kepanduan, ayah Erwin pun pernah bergabung pula dengan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia yang sejak 1961 dinamakan Gerakan Pramuka. Namun, sang ayah hanya sempat beberapa tahun saja, karena kemudian sibuk bekerja dan berkeluarga.
BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka Benny
2. Serial Kisah Pramuka Astrid
3, Serial Kisah Pramuka Ita
Kini, Erwin bisa disebutkan seperti meneruskan semangat kakeknya, yang dulu juga sangat aktif dalam kegiatan kepanduan. Berkat keaktifannya itu jugalah, Erwin dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya. Latihan-latihan dalam kepramukaan, menjadikan Erwin bukan saja lebih kuat secara jasmani dan rohani, tetapi juga mempunyai banyak keterampilan yang berguna.
Banyak perlengkapan rumah tangga, khususnya yang dibuat dari kayu, dikerjakan sendiri oleh Erwin. Di dalam kamarnya, lemari, meja, dan kursi kayu, semua buatan Erwin sendiri. Namun di luar itu, melalui latihan kepramukaan, Erwin dapat menyelamatkan dirinya.
Ya, dia menyelamatkan dirinya ketika terjadi gempa bumi, saat dirinya berkunjung ke rumah pamannya di pinggiran kota Padang, Sumatra Barat. Saat itu, di akhir September 2009, Erwin berada seorang diri dalam rumah pamannya. Sang paman beserta keluarga sedang melayat seorang kerabat mereka yang meninggal dunia. Erwin kemudian diminta untuk menjaga rumah.
Apa mau dikata, menjelang petang, gempa bumi besar meluluhlantakkan Padang dan sejumlah kawasan di Sumatra Barat. Berkekuatan 7.6 Skala Richter, gempa bumi itu menghancurkan banyak bangunan di Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu bangunan hancur, dan berdasarkan data yang dicatat kemudian, tercatat lebih dari seribu korban meninggal dunia. Erwin berada di lantai dua rumah pamannya, ketika gempa bumi mengguncang. Tak perlu waktu lama, rumah dua lantai milik pamannya, hancur berantakan. Erwin terperangkap di reruntuhan puing bangunan.
Butuh waktu cukup lama, ketika sang paman dan keluarganya kembali ke rumah yang telah hancur itu. Mereka memanggil-manggil nama Erwin, namun taka da jawaban. Sebenarnya, Erwin berusaha menjawab, tetapi entah kenapa, lehernya seperti tercekat dan tidak keluar suaranya. Erwin memang mulai lemah, debu dari puing-puing telah menyebabkan pernapasannya terganggu.
Di luar sang paman dan keluarganya tidak dapat berbuat banyak, karena belum tibanya bala bantuan untuk mengangkat puing-puing itu. Apalagi kehancuran tampaknya merata, hampir semua bangunan di kawasan itu hancur. Sebagian puing bangunan bahkan menutupi jalan, bersama tiang-tiang listrik dan pohon yang tumbang. Akibatnya untuk mendekati rumah miliknya sendiri, sang paman cukup kesulitan.
Malam pun segera tiba. Sang paman dan keluarganya hanya berharap Erwin bisa melarikan diri sebelum rumah itu hancur, dan mungkin sekarang sedang mengungsi di tempat lain.
Saat malam, beberapa relawan tiba. Termasuk beberapa pramuka yang membawa makanan dan minuman siap saji. Mereka membagi-bagikannya kepada para korban selamat yang ada di situ. Bantuan mobil ambulans dari PMI setempat juga telah tiba. Begitu pula sejumlah anggota TNI dan Polri, sudah hadir pula untuk memberi di tempat tersebut.
“Hei, hei, diam. Dengar, dulu.” Seorang anggota pramuka meminta warga yang sedang mengambil makanan itu berdiam diri. Dia tampaknya mendengar sesuatu. Benarlah. Pramuka itu mendengar suara ketukan. Tiga ketukan pendek, diikuti tiga ketukan panjang, dan diikuti tiga ketukan pendek.
“SOS**,” teriak pramuka itu dan langsung bersama teman-temannya mendekat ke arah suara yang didengarnya itu.
Menggunakan sisa-sisa tenaganya, setelah terkurung dalam puing-puing reruntuhan selama tiga jam lebih, Erwin berhasil memberikan isyarat ketukan kode morse permintaan bantuan. Sebongkah batu digunakan Erwin untuk memberikan isyarat dengan ketukan tersebut.
“Di sini, di sini,” teriak kelompok pramuka itu.
Dibantu dengan sejumlah anggota TNI dan Polri serta masyarakat setempat, mereka membongkar puing-puing yang memerangkap Erwin.
“Alhamdulillah, kamu selamat Erwin,” ujar sang paman mengucap syukur sambil menggenggam tangan Erwin yang dibopong dengan tandu ke dalam mobil ambulans untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
*Pramuka Penegak adalah golongan pramuka yang berusia antara 16 sampai 20 tahun.
**SOS adalah singkatan Save Our Soul, tanda panggilan darurat dari seorang yang membutuhkan bantuan. alert-info
Tulisan Kak Berthold/info/button
