BURHAN
Burhan dianggap hebat oleh teman-temannya. Dia dianggap mempunyai kelebihan, bisa mengetahui sesuatu yang bakal terjadi. Padahal, tadinya tak ada yang menaruh perhatian pada Burhan, saat dia dan teman-teman pandunya tiba di Yogyakarta pada 1930 untuk mengikuti Kongres I Kepandoean Bangsa Indonesia.
Sebagai seorang pandu penuntun dalam organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang lebih dikenal dengan singkatannya, KBI, Burhan dan beberapa temannya telah datang terlebih dulu, sebelum rombongan peserta kongres lainnya tiba. Dia memang tidak datang sebagai peserta, tetapi kehadiran Burhan dari KBI Cabang Batavia* itu juga untuk membantu KBI Cabang Mataram yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres I KBI di Ambarwinangun, Yogyakarta.
Meskipun masih terbilang muda karena baru seorang pandu penuntun, Burhan terbilang cekatan dalam menyelesaikan pekerjaan administrasi. Keterampilannya dapat disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin organisasi gerakan pendidikan kepanduan lainnya, Itulah sebabnya, KBI Cabang Batavia mengutus Burhan untuk membantu panitia pelaksana kongres di Yogyakarta.
Di tengah-tengah kegiatannya membantu panitia kongres, Burhan dan beberapa temannya meminjam sepeda untuk pergi berkemah di kaki Gunung Merapi. “Tidak lama, besok saya sudah kembali,” ujar Burhan ketika Djoko yang meminjamkan sepeda kepadanya bertanya berapa lama Burhan pergi berkemah.
Perjalanan dari Kota Yogyakarta menuju tempat perkemahan di kaki Gunung Merapi sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun, Burhan merasakan hari itu panas sekali. Tidak biasanya cuaca panas seperti ini, apalagi saat itu adalah bulan Desember, yang seharusnya sudah memasuki musim penghujan.
“Kalau banyak berkeringat, jangan lupa minum banyak air.” Burhan selalu mengingat pesan ayahnya, seorang pengantar suratpos, yang ke mana-mana berjalan kaki atau bersepeda mengantarkan surat-surat ke alamat tujuan. Mengikuti pesan ayahnya, beberapa kali Burhan berhenti mengayuh dan menepikan sepedanya, lalu mengambil veldvles** yang digantung di pinggangnya, untuk meneguk minuman yang telah disiapkannya.
Tiba di lokasi perkemahan, Burhan dan teman-temannya segera memasang tenda. Namun, selagi mereka memasang tenda, mereka melihat beberapa binatang hutan berlarian. Bahkan tampak seekor ular meliuk-liuk turun menjauh. Teman-temannya tampak takjub melihat beberapa binatang hutan melintas di depan mereka. Agus malah mencoba melempar seekor kelinci dengan ranting kayu, tetapi segera dicegah yang lainnya.
“Jangan sakiti binatang,” tutur Simon tegas.
Burhan sendiri kemudian berjalan menuju sungai kecil, seperti ditunjukkan arahnya oleh seorang penduduk desa setempat.
Tiba di sana, dia melihat sungainya mulai mongering.
Kembali ke lokasi perkemahan, Burhan memberitahu teman-temannya. “Hati-hati, Gunung Merapi mau meletus,” ujarnya,
“Hah? Belum juga kita berkemah dengan tenang di sini, tiba-tiba kamu bilang gunung mau meletus,’ balas Agus, “Kamu punya firasat ya?”
“Bukan, bukan. Ini bukan firasat, tapi tanda-tanda alam memang tampak gunung mau meletus,” balas Burhan, “Cepat kita beritahu penduduk desa. Dan sebaiknya kita juga rapikan lagi tenda kita, kembali ke Yogyakarta saja. Tidak usah berkemah di sini. Bahaya.”
Benarlah. Tak berapa lama kemudian, Gunung Merapi meletus. Sayang sekali, hanya sedikit penduduk desa yang sempat diberitahu Burhan dan kawan-kawannya. Korban jiwa, ternak dan juga manusia, berjatuhan. Bangunan, sawah, dan perkebunan hancur diserang “wedhus gembel”.
Namun, ucapan Burhan yang sudah memperkirakan Gunung Merapi bakal meletus, dianggap hebat teman-temannya. Burhan dianggap peramal karena seolah bisa tahu Gunung Merapi akan meletus. “Seperti punya firasat ya,” ujar seorang temannya yang bersama Burhan membantu meringankan beban para korban gunung yang meletus itu.
Burhan hanya tersenyum. Para Pandu KBI dari berbagai tempat yang sudah berada di Yogyakarta, memang tidak langsung kembali ke daerah masing-masing. Mereka ikut turun tangan membantu menanggulangi bencana gunung meletus itu. Ada yang membantu di pos palang merah, dapur umum di pengungsian, maupun di berbagai bidang lainnya. Bahkan pandu-pandu lain secara sukarela kemudian berdatangan pula ke Yogyakarta, untuk membantu penanganan korban bencana gunung meletus tersebut.
“Untung saya pernah membaca catatan Tuan Smits,” ujar Burhan kepada temannya, saat beristirahat setelah selesai membantu di dapur umum, “Jadi saya tahu tanda-tanda alam menjelang meletusnya gunung berapi.”
Tuan Smits yang dimaksudkannya adalah P. Joh Smits atau akrab dipanggil Johan. seorang perintis dimulainya aktivitas gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia-Belanda. Bersama temannya, PA de Jager, Smits memulai latihan pendidikan kepanduan bagi anak-anak yang ada di sekitar komplek Dinas Meteorologi di Batavia pada pertengahan 1912.
Smits memang datang ke Hindia-Belanda pada 1911 untuk bekerja di Dinas Meteorologi Batavia. Sebagai seorang yang mendapat pendidikan tentang cuaca, Smits kemudian mendidik anggota kepanduan untuk dapat mengenali keadaan cuaca. dan alam sekitarnya Sama seperti perintis gerakan pendidikan kepanduan sedunia, Lord Baden-Powell, ketika memulai aktivitas itu di Pulau Brownsea, Inggris, pada 1907. Sebanyak 20 anak dan remaja dari sekitar Kota London yang diajaknya berkemah di pulau, diberikan pula pengenalan tentang pentingnya memahami alam di sekitar kita.
Baden-Powell pernah berkata, “Mempelajari dan memahami alam akan menunjukkan kepadamu betapa penuhnya hal-hal indah dan menakjubkan yang Tuhan ciptakan di dunia untuk kita nikmati. Puaslah dengan apa yang Anda miliki dan lakukan yang terbaik. Lihatlah sisi baiknya daripada sisi suramnya.”
Bukan itu saja. Memahami alam dan cuaca juga akan membantu kita dalam berbagai hal. Seperti catatan Smits yang mengajarkan perlunya mengetahui tanda-tanda alam menjelang meletusnya gunung berapi, membantu Burhan dan teman-temannya selamat dari amukan lahar panas letusan gunung itu.
“Jadi bukan karena sekadar firasat,” tegas Burhan.
Catatan Kaki:
*Batavia adalah nama kota Jakarta sebelum Indonesia merdeka.
**Veldvles adalah tempat minum, yang pada zaman Hindia-Belanda biasanya terbuat dari kaleng, dan digantung di ikat pinggang orang yang membawanya. alert-info
Tulisan Kak Berthold/info/button
