Serial Kisah Pramuka : Dadang


Serial Kisah Pramuka : Dadang

DADANG

“Hati-hati dengan Dadang. Dia cucunya orang yang mendukung penjajah.”


Pernyataan yang menuduh Dadang itu tersebar di sejumlah akun media sosial. Semua bermula dari keinginan Dadang mencalonkan diri sebagai ketua sebuah organisasi pemuda yang mempunyai visi membantu kaum muda untuk dapat hidup mandiri.



Bukan hanya Dadang yang mencalonkan diri. Ada beberapa orang lain yang ikut mengajukan diri untuk menjadi ketua. Padahal tiga bulan lalu, hampir tak ada yang mau. Sampai akhirnya Dadang didesak teman-temannya untuk mencalonkan diri.


Sampai sebulan lalu, baru nama Dadang yang ada dalam daftar calon ketua organisasi pemuda itu. Tiba-tiba seminggu sebelum penutupan pendaftaran, muncul beberapa nama lainnya. Penyebabnya ternyata karena terdengar kabar bahwa pihak pemerintah daerah setempat akan mengalokasikan dana hibah bagi beberapa organisasi masyarakat, termasuk organisasi pemuda tempat Dadang bergabung.


Dana hibah itu diberikan untuk membantu organisasi-organisasi yang mendapatkannya mengadakan sejumlah pelatihan wirausaha dalam berbagai bidang.


“Gara-gara ada uang, jadi banyak yang mau,” ujar Steven, salah satu sahabat Dadang.


Dadang hanya menanggapinya dengan tersenyum. Sebagai calon terkuat, Dadang sebenarnya tak peduli dengan keinginan orang lain untuk menjadi ketua organisasi, apalagi kalau hanya karena uang. Dirinya menyetujui permintaan teman-temannya untuk menjadi calon ketua, tak lain untuk membantu organisasi itu menjadi lebih bermanfaat bagi anggotanya dan masyarakat luas.


Soal uang, bukan menjadi tujuan Dadang. Selama ini pun, walaupun dalam jumlah terbatas, Dadang secara rutin menyumbangkan sebagian penghasilan bulanannya untuk kas organisasi. Jadi banyak yang tahu, bahwa keinginan Dadang untuk menjadi ketua, bukan karena iming-iming uang.


Namun, belakangan muncul berbagai upaya untuk menjelek-jelekkan dirinya. Tahu bahwa dalam organisasi tersebut ditumbuhkan semangat patriotisme dan cinta Tanah Air, membuat seseorang dengan cara licik mencoba menjatuhkan nama baik Dadang. Salah satunya adalah dengan membuat pernyataan bahwa Dadang adalah keturunan dari seorang yang mendukung penjajah.


Dadang tak habis pikir, bagaimana ada yang menuduhnya begitu? Ternyata, tuduhan itu dilontarkan berdasarkan catatan sejarah gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Pada 1937, ketika Indonesia belum merdeka dan masih bernama Hindia-Belanda, NIPV* yang merupakan organisasi utama gerakan pendidikan kepanduan di negara kita, memberangkatkan satu kontingen yang terdiri dari 78 orang untuk mengikuti Jambore Kepanduan Sedunia V di Vogelenzang, Belanda.


Rombongan itu menggunakan kapal laut MS Dempo dari Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia** menuju Pelabuhan Rotterdam di Belanda. Sesuai dengan aturan yang ditetapkan NIPV, yang boleh ikut hanya pandu-pandu yang menjadi anggota NIPV atau organisasi gerakan pendidikan kepanduannya berinduk kepada NIPV. Pandu-pandu di luar itu, tak diberi kesempatan menjadi anggota kontingen.


Aturan itu dibuat karena NIPV juga mendapat tekanan dari Pemerintah Hindia-Belanda. Komisaris Besar NIPV, GJ Ranneft, melihat bahwa ada kecenderungan menurunnya jumlah anggota NIPV. Salah satu penyebabnya, karena mulai tumbuhnya berbagai organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang tidak berinduk pada NIPV.


Berkembangnya organisasi-organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang tidak berinduk pada NIPV, menyebabkan kekhawatiran di kalangan pejabat Pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu didasarkan pengamatan mereka, bahwa sebagian besar organisasi itu didirikan oleh kaum bumiputera, yang umumnya mempunyai semangat dan cita-cita untuk kemerdekaan Indonesia.


Semangat itu harus dicegah, dan NIPV didesak untuk menggabungkan semua organisasi gerakan pendidikan kepanduan di bawah mereka, agar lebih mudah dikendalikan Pemerintah Hindia-Belanda. Usaha itu gagal, masih banyak organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang tak mau bergabung dan berinduk pada NIPV. Maka, karena merasa berkuasa dan menjad organisasi gerakan pendidikan kepanduan utama di Hindia-Belanda, NIPV melarang yang bukan anggotanya atau berinduk kepadanya, untuk mengikuti berbagai kegiatan kepanduan di luar negeri.


“Jadi kalau ada kaum bumiputera yang ikut, seperti kakeknya Dadang, dia pasti masabodoh pada kemerdekaan Indonesia, yang penting bisa senang-senang ke luar negeri dengan penjajah,” tulis tuduhan yang ditujukan kepada Dadang.


Dadang sadar untuk menjawab tuduhan seperti itu, dia harus mempunyai data yang bisa membantahnya. Di rumah, Dadang membongkar kembali kotak besi yang berisi sebagian peninggalan kakeknya. Kotak besi yang tersimpan di gudang rumah, dibukanya kembali.


Dadang menemukan nama kakeknya yang merupakan anggota organisasi yang bernama Pandoe Indonesia. Meskipun memang berinduk pada NIPV, tetapi dari namanya saja organisasi itu sudah secara tegas menyebutkan nama Indonesia.


Bukan itu saja. Dari nama-nama anggota Pandoe Indonesia yang mengikuti Jambore Kepanduan Sedunia di Belanda, Dadang mendapatkan nama Koesno, Pemimpin Regu Menjangan yang sama-sama dengan kakeknya Dadang berasal dari Bandung. Sang kakek pernah bercerita kepada ayah Dadang – dan Dadang mendapatkan cerita itu dari catatan ayahnya – bahwa yang disebut Koesno itu adalah Koesno Oetomo atau dalam ejaan sekarang disebut Kusno Utomo.


“Pak Kusno Utomo bukan sembarang orang, dia seorang jenderal yang berjuang merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI. Saya sempat menjadi salah satu anggota pasukannya ketika berperang melawan Belanda,” cerita sang kakek.


Setelah mengikuti jambore di Belanda, Koesno memang kemudian berkarier dalam kemiliteran. Bersama sejumlah pemuda bumiputera kabarnya Koesno sempat menjadi anggota tentara KNIL***. Sama seperti banyak kaum muda bumiputera, Koesno menjadi tentara Hindia-Belanda justru untuk mendapatkan keterampilan dalam bidang kemiliteran. Kelak keterampilan itu sangat bermanfaat untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.


Itulah sebabnya, ketika Koesno mengajak sahabat satu regu yang telah dikenalnya sejak masa di kepanduan, kakeknya Dadang segera menyambut gembira dan bergabung dalam pasukan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.


Dadang bahkan masih memiliki foto sang kakek dalam seragam TKR****, saat baru mulai menjadi prajurit di tahun pertama Kemerdekaan Republik Indonesia. Berbekal data dan foto itu, Dadang berhasil mematahkan semua tuduhan licik yang diarahkan kepadanya.


“Tidak Benar!” Cukup dua kata untuk membungkam si penuduh.


Catatan Kaki:
* NIPV adalah singkatan dari Nederland Indische Padvinder Vereeniging, organisasi gerakan pendidikan kepanduan utama di Hindia-Belanda, yang umumnya beranggotakan anak dan remaja Belanda dan keturunannya, serta sedikit pandu keturunan Tionghoa dan bumiputera. Berdiri secara resmi pada 1914, NIPV yang menjadi induk dari sejumlah organisasi gerakan pendidikan kepanduan lainnya.
**Batavia adalah nama kota Jakarta sebelum Indonesia merdeka.
***KNIL adalah singkatan dari het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, tentara Kerajaan Hindia-Belanda.
****TKR adalah singkatan dari Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk pada 5 Oktober 1945, dan merupakan cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kita kenal sekarang. alert-info

Tulisan Kak Berthold/info/button  wYMzmJ.jpgKisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama
close
tunasmandiricorp