Serial Kisah Pramuka : Pandu

Serial Kisah Pramuka : Pandu

PANDU

Pontas, Ranto, Amir, Mustafa, Ujo, Kamal, dan Andi kebingungan. Pandu tiba-tiba menghilang begitu saja di dalam Museum Sumpah Pemuda. Pontas dan Andi yang terakhir melihat Kak Pandu, demikian mereka memanggilnya. Kakak Pembina Pramuka mereka itu sedang membetulkan epolet* pada manekin pria berseragam yang ditampilkan sedang memegang sepeda onthel** di Ruang Kepanduan.

Sebagai seorang yang banyak mempelajari sejarah gerakan pendidikan kepanduan, Pandu segera tahu bahwa pemasangan epolet itu tidak tepat. Dia lalu meminta izin kepada petugas museum untuk membetulkan letak epolet seragam tersebut. Hanya itu yang sempat dilihar Pontas dan Andi. Keduanya lalu beralih melihat koleksi lainnya di dalam museum itu. Demikian pula anggota Regu Komodo lainnya yang bersama Pandu mengadakan kunjungan ke sejiumlah museum di Jakarta.

Setelah ditunggu sekian lama, Pandu tidak terlihat. Seluruh anggota Regu Komodo mengelilingi museum tersebut untuk mencari kakak pembina mereka, tetapi Pandu tak juga ditemukan. Belakangan, dibantu sejumlah petugas museum, mereka sekali lagi mengelilingi museum itu. Tetap saja, tak terlihat keberadaan Kak Pandu.

Pontas sebagai pemimpin regu, mencoba menghubungi Kak Pandu melalui telepon selulernya. Namun, tidak ada jawaban. Ketika dihubungi, hanya terdengar rekaman suara otomatis, “Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan, mohon mencoba sekali lagi”.

Sementara, Pandu sendiri juga ikut bingung. Dia tiba-tiba berada di halaman gedung itu. Anehnya, kini dia yang berseragam pandu seperti manekin yang dibetulkan epoletnya tadi. Sama seperti manekin tadi, Pandu kini juga memegang sepeda. Dia semakin bingung melihat banyak orang di situ berpakaian seperti orang-orang di masa lalu.

“Di mana saya?” Pandu mencoba bertanya kepada seorang pemuda bercelana pendek di dekatnya.

Pemuda itu menatap Pandu dengan pandangan aneh. “Ini kan gedung Indonesisiche Clubsgebouw***, bagaimana mungkin saudara tidak tahu? Aneh sekali,” jawab pemuda itu dan segera meninggalkan Pandu.

Meskipun belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Pandu akhirnya mengikuti beberapa pemuda memarkir sepedanya di situ. Dia juga ikut masuk ke dalam gedung. Di dalam sudah penuh, Pandu hanya dapat berdiri di dekat pintu. Cukup lama Pandu mengamati berbagai peristiwa yang terjadi di dalam gedung itu,

“Ah, ya. Ini pasti Kongres Pemuda,” ujar Pandu.

“Ini memang Kongres Pemuda, kenapa saudara berkata seperti itu? Ambil ini.” Pemuda berambut keriting yang berdiri di sebelah Pandu ikut berbicara sambil menyerahkan selembar kertas.

Pandu mengambil dan membacanya. Isinya adalah pengumuman dan ajakan, “Kerapatan (Congres) Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Weltevreden (27-28 October). Datanglah ke Congres ini Djangan Loepa”.

“Maaf, Maaf.” Pandu memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya, kemudian melangkah keluar.

“Hei, jangan pergi dulu.” Si pemuda berambut keriting mencegah Pandu keluar, sambil berkata, “Ini kenapa saudara masih memakai seragam Pandu? Tidak tahukah saudara, arak-arakan Pandu sudah dilarang, Leider**** Soenario sendiri yang memberitahu kemarin malam.”

Pandu mencoba mengingat-ingat catatan-catatan sejarah tentang peristiwa Kongres Pemuda II yang pernah dipelajarinya. “Ya, ya, saya sudah tahu. Tapi saya ke sini bukan untuk ikut arak-arakan, saya hanya ingin ikut membantu, siapa tahu ada yang memerlukan tenaga saya,” ujar Pandu.

Pandu ingat, dari catatan sejarah yang dipelajainya, pada malam hari 27 Oktober 1928, Leider Soenario mengumpulkan para Leider dari beberapa organisasi pendidikan kepanduan. Walaupun Leider Soenario berasal dari Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie atau INPO, tetapi para pembina organisasi pendidikan kepanduan lainnya, amat menghormati Soenario. Dia dijadikan pemimpin mewakili gerakan kepanduan dalam Kongres Pemuda II itu.

Beberapa hari sebelumnya, Leider Soenario bermaksud mengadakan arak-arakan para pandu menyambut Kongres Pemuda tersebut. Berbagai organisasi kepanduan yang mendukung pelaksanaan Kongres Pemuda diajak untuk turut serta dalam arak-arakan di seputar Weltevreden*****. Namun, pihak kepolisian Hindia-Belanda, terutama komisaris polisi di Batavia, tak mengizinkan arak-arakan itu. Pihak kepolisian khawatir arak-arakan itu akan menimbulkan semangat dari kaum bumiputera untuk melawan pemerintahan pendudukan HIndia-Belanda.

“Arak-arakan tidak jadi kita adakan. Pihak kepolisian melarang kita. Tapi bagi yang ingin hadir di Kongres Pemuda silakan. Mungkin bisa membantu menjaga keamanan, sekretariat, atau di dapur umum, menyiapkan makanan bagi peserta kongres,” ujar Leider Soenario, yang kemudian menambahkan, “Sebaiknya kita juga hati-hati, saya dapat info para petugas PID****** sudah berkeliling di sekitar tempat kongres.”

Pandu akhirnya memutuskan untuk membantu di dapur umum, yang terletak di bagian belakang gedung tempat pelaksanaan kongres tersebut. Sambil berjalan ke lokasi dapur umum itu, tanpa sengaja tangannya dimasukkan ke dalam celana. Ah, Pandu ingat. Dia membawa telepon seluler dan mengeluarkannya.

“Hei, apa itu? Kau bawa senjata ya?”

Rupanya seorang petugas PID memperhatikan telepon seluler yang dipegang Pandu.

“Bukan, bukan. Ini bukan senjata, Tuan.”

Petugas PID itu tetap mendekati Pandu. Khawatir keselamatannya, Pandu memilih melarikan diri. Kebetulan ada jalan kecil di belakang gedung, Pandu berlari ke sana. Melihat ada pohon cukup besar, Pandu dengan cekatan memanjatnya. Sang petugas PID kehilangan jejak Pandu, lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Dari atas pohon, lamat-lamat Pandu mendengar permainan biola. Pandu langsung mengenali, itu adalah lagu “Indonesia Raya”. Pasti Wage Rudolf Supratman sedang memainkan biolanya. Pandu ingat betul dalam naskah lengkap lagu itu, dua kali kata “pandu” disebutkan. Di stanza pertama bagian awalnya berbunyi, “Indonesia Tanah Airku, tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri, jadi Pandu ibuku,..” Kemudian di stanza ketiga ada lirik yang menyebutkan, “…majulah negrinya, majulah Pandunya, untuk Indonesia Raya…”

Sungguh membanggakan, gerakan pendidikan kepanduan ikut berperan serta dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan putusan kongres dan dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.

“Kak Pandu! Kak Pandu!”

Terdengar teriakan. Pandu tersentak. Ternyata dia tidak berada di sekitar tempat pelaksanaan Kongres Pemuda II, melainkan berada di rumahnya sendiri. Sedikit bingung dengan situasi yang dihadapinya, Pandu melihat jam bertanggal di dekat tempat tidurnya. Pandu ingat, hari ini dia berjanji akan membahas laporan hasil kunjungan ke Museum Sumpah Pemuda yang telah dikerjakan adik-adik peserta didik di gugusdepannya. Mereka sekarang sudah ada di depan rumahnya, berteriak memanggil namanya berulang kali.

Rupanya Pandu ketiduran, setelah semalam sampai hampir pagi menyelesaikan naskah buku sejarah kepramukaan yang sedang disiapkannya, Bangkit dari tempat tidurnya, Pandu bermaksud hendak mencuci muka dan berganti pakaian, sebelum bertemu dengan adik-adik peserta didiknya. Tiba-tiba dari tempat tidurnya melayang selembar kertas. Pandu mengambilnya, kertas tua bertuliskan, “Kerapatan (Congres) Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Weltevreden (27-28 October). Datanglah ke Congres ini Djangan Loepa”.


Catatan Kaki:


*Epolet adalah hiasan atau tanda tertentu yang dipasang pada lidah bahu seragam tertentu. Baik seragam kemiliteran, kepolisian, dan juga kepramukaan.
**Sepeda Onthel adalah sepeda standar yang biasa digunakan di jalan, sebelum maraknya penggunaan sepeda motor dan kendaraan bermotor lainnya.
*** Gedung Indonesische Clubsgebouw adalah gedung yang dijadikan sekretariat sejumlah organisasi pergerakan pemuda sejak 1927. Saat ini, gedung tersebut dijadikan Museum Sumpah Pemuda.
****Leider = Pembina Pandu/Pramuka,
*****Weltevreden sekarang menjadi daerah utama di Jakarta Pusat, di sekitar Lapangan Banteng, kawasan Monumen Nasional, sampai ke Senen, Kwitang, dan Kramat Raya.
******PID adalah singkatan dari Politieke Inlichtingen Dienst, dinas intelijen politik Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka amat ditakuti, karena punya kewenangan menangkap orang-orang yang dianggap berseberangan politik dengan pemerintah. alert-info


Tulisan Kak Berthold/info/button  wYMzmJ.jpgKisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success


Post a Comment

أحدث أقدم
close
tunasmandiricorp