Serial Kisah Pramuka : Pranoto

Serial Kisah Pramuka : Pranoto

PRANOTO

“Kak Beng, dua hari lalu saya dengar ada yang mempermasalahkan kenapa saya mendapat Lencana Teladan.”

Pranoto bercerita kepada Kak Beng, kakak pembina pramukanya seusai latihan di gugusdepan mereka. Pranoto memang baru saja mendapat anugerah Lencana Teladan, yang diberikan pada peringatan Hari Pramuka. Lencana Teladan adalah tanda penghargaan yang diberikan kepada peserta didik Gerakan Pramuka yang berusia antara 7 sampai 25 tahun.

BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Soemardjo
2. Serial Kisah Pramuka : Hadi
3. Serial Kisah Pramuka : Taufik


Pranoto, seorang Pramuka Penggalang Garuda* memang pantas mendapatkan penghargaan itu. Seperti dikatakan oleh Dewan Kehormatan** yang menilai sikapnya, Pranoto dinilai telah menunjukkan sikap laku utama, yang terlihat dari usaha, tanggung jawab, keuletan, kesabaran, ketabahan, kesopanan, keramahtamahan serta akhlak yang iuhur, sehingga dapat menjadi teladan bagi anggota Gerakan Pramuka, keluarga, dan masyarakat umumnya.

“Siapa yang mempermasalahkan?” tanya Kak Beng.

“Ada saja, Kak. Saya dengar dari teman-teman, saya dibilang dapat Lencana Teladan karena dekat dengan kakak,” jawab Pranoto.

Sejak orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan mobil, Pranoto hanya tinggal berdua dengan kakaknya, seorang mahasiswa yang juga bekerja paruh waktu sebagai tenaga pemasaran asuransi. Kesibukannya menyelesaikan studi dan bekerja, menyebabkan sang kakak jarang berada di rumah. Hanya bertemu Pranoto pagi hari atau setelah larut malam. Akibatnya, Pranoto seolah kehilangan orang yang dapat dituakan, tempat untuk bertanya, mengadu, berkeluh kesah, dan mendapat bimbingan.

Kak Beng yang mengetahui hal itu, memilih untuk sering bertemu dengan Pranoto dan berusaha menjadi kakak baginya. Dia melihat Pranoto mempunyai potensi yang baik. Selain terbilang pandai dalam pendidikannya, Pranoro juga aktif dalam kepramukaan. Di gugusdepan, Pranoto bahkan menjadi Pemimpin Regu Utama*** pasukannya.

Namun, tentu bukan karena Kak Beng berusaha menjadi kakak baginya yang menyebabkan Pranoto dengan mudah mendapatkan Lencana Teladan. Selain dari gugusdepan tempatnya bergabung, gugusdepan-gugusdepan lainnya juga mengajukan calon untuk mendapatkan Lencana Teladan kepada kwartir cabang**** setempat. Kemudian, setelah diseleksi, calon-calon yang dianggap layak, diajukan kepada kwartir daerah***** dan selanjutnya diteruskan kepada Kwartir Nasional. Sebagai kepengurusan Gerakan Pramuka tertinggi, Kwartir Nasional menetapkan siapa saja yang berhak memperoleh Lencana Teladan. Penetapan itu dilakukan melalui sidang Dewan Kehormatan Kwartir Nasional.

“Jadi walaupun kamu dekat dengan saya, bukan berarti kamu langsung mendapat Lencana Teladan. Penilaian untuk mendapatkannya dilakukan berjenjang dari kwartir cabang, daerah, sampai kwartir nasional, dan saya juga nggak kenal siapa saja anggota dewan kehormatan di tingkat cabang sampai nasional,” jelas Kak Beng.

Pranoto mengangguk mendengar penjelasan itu. Kini dia lebih tenang setelah sebelumnya agak terganggu karena tuduhan yang didengarnya.

“Sebenarnya siapa yang berprasangka karena kedekatanmu pada saya maka kamu jadi langsung dapat Lencana Teladan?” Kak Beng kini bertanya pada Pranoto, tetapi yang ditanya diam saja.

“Hmm, kalau yang bilang begitu seorang pramuka, berarti dia belum mengamalkan janji pramuka dengan baik. Tidak bisa mengamalkan Dasa Darma Pramuka, yang darma kesepuluhnya berbunyi suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan,” ujar Kak Beng lagi.

“Ya, betul. Prasangka memang hal yang buruk. Sama ketika saya menceritakan kisah para pandu dari negeri kita di zaman Hindia-Belanda yang mengikuti Jambore Dunia 1937.” Kak Arman, sahabat Kak Beng, yang sejak tadi rupanya ikut mendengarkan percakapan di tepi halaman gugusdepan itu, ikut berkomentar.

Menyambung percakapannya, Kak Arman mengisahkan beberapa waktu lalu dia menjadi salah satu narasumber dengan tema “Indonesia Tempo Doeloe”. Kak Arman mengangkat kisah kontingen pandu Hindia-Belanda yang ikut Jambore Dunia 1937 di Vogelenzang, Belanda. Selain anak-anak berkebangsaan Belanda, dalam kontingen tersebut ada juga sejumlah pandu dari Keraton Mangkunegara di Solo, pandu-pandu dari Maluku, pandu keturunan Tionghoa, dan sejumlah pandu bumiputera dari Batavia******, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

“Lalu ada seorang penanggap yang berkomentar, pasti pandu-pandu bumiputera yang ikut adalah dari kaum bangsawan, pejabat pemerintah, atau anak orang kaya,” tambah Kak Arman.

Penanggap itu menyebutkan bahwa di zaman penjajahan Belanda, pasti hanya kaum bangsawan, pejabat pemerintah, atau orang kaya yang bisa memberangkatkan anaknya ke luar negeri.

“Ternyata itu hanya prasangka belaka,” jelas Kak Arman lagi.

Dari hasil penelitiannya terhadap dokumentasi sejarah gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia, ternyata tidak semua anggota kontingen adalah anak bangsawan, pejabat pemerintah, atau orang kaya. Tidak sedikit yang menabung untuk ikut jambore itu.

“Saya juga mendapat data tertulis, pihak Dinas Pos Hindia-Belanda menerbitkan satu set terdiri dari dua prangko untuk menyambut Jambore Kepanduan Sedunia 1937 itu. Para pandu ikut menjual prangko dan amplop-amplop yang dicetak khusus. Hasil penjualan, sebagian disumbangkan untuk biaya pemberangkatan kontingen,” kata Kak Arman.

Banyak juga pandu yang menjual kerajinan buatan mereka, serta ada pula yang menjual makanan. Hasilnya ditabung untuk biaya berangkat dengan kapal laut ke Belanda.

“Bahkan di kapal laut itu, kapal MS Dempo, ada juga yang bekerja untuk mendapatkan keringanan biaya. Salah satunya adalah Pak Soewarma, beliau salah satu tokoh pandu dari Bandung. Uang saku yang dimilikinya pas-pasan, karena dia bukan anak orang kaya. Jadi, seperti diceritakan sendiri oleh Pak Soewarma, dia membujuk koki kepala di kapal itu,” cerita Kak Arman.

Bujukan Pak Soewarma berhasil. Dia bisa ikut bekerja di dapur kapal, membantu membersihkan peralatan dapur dan menyiapkan bahan-bahan makanan. Jadi, selama perjalanan dengan kapal hampir dua bulan dari Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia menuju Pelabuhan Rotterdam di Belanda, Pak Soewarma tidak perlu mengeluarkan uang sedikit pun untuk biaya makanan. Dia mendapat makan gratis setiap hari bersama para awak dapur kapal.

“Wah, Pak Soewarma memang cerdik.” Pranoto dan Kak Beng ikut mengacungkan jempol.


Catatan Kaki:


*Pramuka Penggalang Garuda adalah tingkatan tertinggi dalam golongan Pramuka Penggalang (golongan peserta didik yang berusia antara 11 sampai 15 tahun).
**Dewan Kehormatan Gerakan Pramuka adalah badan yang dibentuk oleh kwartir dan gugus depan serta bertanggung jawab kepada ketua kwartir atau ketua gugus depan. Fungsinya memberi pertimbangan kepada ketua kwartir atau ketua gugus depan dalam pemberian anugerah, penghargaan, sanksi, dan rehabilitasi.
***Pemimpin Regu Utama disingkat Pratama adalah seorang Pramuka Penggalang yang karena kecakapannya dipilih dan ditunjuk menjadi pimpinan dari semua anggota Pramuka Penggalang dalam pasukannya.
****Kwartir Cabang adalah kepengurusan Gerakan Pramuka di daerah tingkat dua (kabupaten dan kotamadya).
*****Kwartir Daerah adalah kepengurusan Gerakan Pramuka di daerah tingkat satu (provinsi).
******Batavia, nama kota Jakarta di masa Hindia-Belanda. alert-info


Tulisan Kak Berthold/info/button  wYMzmJ.jpgKisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success


Post a Comment

أحدث أقدم
close
tunasmandiricorp