Serial Kisah Pramuka : Soeprapto

Serial Kisah Pramuka : Soeprapto

SOEPRAPTO

“Merdeka!”

“Merdeka!”

“Merdeka!”

Pekik penuh semangat dikumandangkan para pandu dari berbagai organisasi gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Sebagaimana rakyat Indonesia umumnya, para pandu menyambut gembira Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan pasangan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.

Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, mempercepat kemerdekaan Indonesia. Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus 1945. Dua hari kemudian, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Meskipun tidak secara resmi hadir mewakili gerakan pendidikan kepanduan, sejumlah pandu ikut menyaksikan pula secara langsung pembacaan teks proklamasi dan pengibaran Sang Saka Merah Putih itu. Dokter Moewardi yang juga merupakan Komisaris Besar Kepanduan Bangsa Indonesia dan salah satu tokoh pandu terkemuka, bahkan berdiri hanya sekitar tiga meter dari Bung Karno dalam peristiwa itu. Sebagai Kepala Barisan Pelopor, Dokter Moewardi memang menjadi penjaga dan orang dekat Bung Karno yang segera ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia.

Di antara sejumlah anggota Barisan Pelopor terdapat pula yang aktif dalam gerakan pendidikan kepanduan. Bukan itu saja, sebagian hadirin pada peristiwa bersejarah itu, juga merupakan anggota atau pernah menjadi anggota gerakan pendidikan kepanduan.

Tak heran, usai Bung Karno membacakan teks proklamasi, semangat kemerdekaan itu segera menyebar ke seluruh pandu di Indonesia. Latihan dan aktivitas gerakan pendidikan kepanduan yang sempat terhenti ketika Balatentara Dai Nippon Jepang masuk dan menjajah Indonesia sejak 1945, kini kembali dibangkitkan. Latihan-latihan kepanduan mulai digelar di banyak tempat.

Latihan-latihan itu bukan sekadar bagian dari kegiatan pendidikan bagi anak dan remaja di alam terbuka, tetapi sekaligus memupuk rasa cinta Tanah Air. Setiap kali latihan, dimulai dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Demikian pula, saat upacara penutupan latihan mingguan.

Namun, perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu belum selesai. Sebagai pemenang Perang Dunia II, pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris dan Amerika Serikat, memiliki hak atas kekuasaan Jepang di berbagai wilayah yang pernah dikuasai Jepang, termasuk di Indonesia.

Maka, tak lama setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, tentara Sekutu masuk ke Indonesia. Tujuan utama, seperti disebutkannya, adalah untuk melucuti senjata sisa-sisa balatentara Dai Nippon, dan mengeluarkan semua pasukan Jepang tersebut dari bumi Indonesia.

Namun, berbarengan dengan masuknya tentara Sekutu, ternyata ikut pula sejumlah tentara Belanda. Merteka ingin kembali menguasai Indonesia yang pernah dikuasainya cukup lama, sebelum direbut oleh Jepang pada 1942. Tentu saja, Pemerintah dan rakyat Indonesia menolak kehadiran Belanda.

Terjadilah pertempuran di mana-mana. Inilah yang kelak dicatat dalam berbagai buku sejarah sebagai fase perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia antara 1945 sampai 1949. Para pandu yang telah dididik untuk mecintai Tanah Airnya, ikut pula membela negaranya di berbagai bidang. Tak sedikit yang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia, untuk berjuang secara fisik melawan pihak Sekutu dan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Sementara, untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di antara organisasi-organisasi gerakan pendidikan kepanduan, maka sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sejumlah tokoh pandu berkumpul di Yogyakarta. Pada akhir September 1945, para pemimpin pandu dari Kepanduan Bangsa Indonesia, Hizsbul Wathan, Serikat Islam Afdeeling Pandu, Nationale Islamitsche Padvinderij, Kepanduan Kristen Tri Darma, Kepanduan Asas Katholik Indonesia, dan Pandu Kesultanan, menyepakati untuk membentuk panitia kesatuan pandu Indonesia.

Hal tersebut berlanjut dengan Kongres Kesatuan Pandu Indonesia pada 29 Desember 1945 di Surakarta yang dihadiri lebih dari 250 tokoh pandu dari berbagai organisasi gerakan pendidikan kepanduan. Maka, lahirnya kesatuan pandu Indonesia dalam wadah Pandu Rakyat Indonesia.

Semangat untuk mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan yang bermanfaat bagi anak dan remaja Indonesia terus berkembang. Latihan-latihan kepanduan yang bertujuan menumbuhkan rasa cinta Tanah Air, terus pula digiatkan. Patriotisme dan nasionalisme, dua paham yang menjadi bagian penting dari semua pendidikan kepanduan di Indonesia.

Namun, tentu saja para tokoh pandu tidak melupakan dengan semangat gerakan pendidikan kepanduan yang universal, yaitu menumbuhkan persaudaraan di antara semua orang, serta para pandu tetap harus berusaha untuk menjadi agen perdamaian.

Tak heran, meskipun para pandu sangat menentang penjajahan, tetapi bagi mereka semua manusia sama dan sederajat. Mereka tetap menyebarkan pesan perdamaian kepada siapa pun. Sayangnya, hal itu tak berpengaruh pada pihak tentara Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Bagi penjajah, apa pun akan mereka lakukan yang penting bisa menguasai suatu negara.

Ketika sudah pada pertengahan Agustus 1948 sudah disepakati gencatan senjata antara pasukan tentara Belanda dengan pasukan tentara Republik Indonesia, banyak warga yang mengira keadaan sudah cukup aman. Maka menyambut ulang tahun ketiga kemerdekaan Republik Indonesia, sejumlah pandu dan warga mengadakan peringatan di depan rumah Bung Karno, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Acara peringatan itu tampaknya membuat marah tentara Belanda. Meskipun sudah disepakati adanya gencatan senjata, mereka tetap menyerbu ke kediaman Bung Karno. Saat berusaha membubarkan acara, sejumlah peleton tentara Belanda yang datang ke sana, juga menembak secara sembarangan.

Soeprapto, salah satu pandu yang bertugas mengatur pelaksanaan acara peringatan tertembak. Walaupun sempat dibawa ke rumah sakit CBZ* yang telah diubah namanya menjadi Rumah Sakit Umum Negeri, nyawanya tak tertolong. Soeprapto menjadi korban kesekian pembunuhan biadab yang dilakukan tentara Belanda.

Belakangan, sebuah prangko Cetakan Wina**, menampilkan Soeprapto yang terbujur di bangsal rumah sakit, dengan seorang perawat yang menatapnya haru penuh kesedihan dan sedang menutupi jenazah tersebut. Kesedihan yang sama dirasakan para pandu di banyak tempat.

Soeprapto gugur, menjadi korban pembunuhan, kala sedang memperingati kemerdekaan negaranya. Bersama ribuan dan bahkan puluhan serta ratusan ribu para korban lainnya, Soeprapto telah menjadi pahlawan pejuang kemerdekaan yang tak terlupakan jasanya.

“Merdeka!”


Catatan Kaki:

*CBZ adalah singkatan Centrale Burgelijke Ziekenhuis yang sekarang bernama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Dari rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 ke CBZ jaraknya kurang dari satu kilometer. alert-info

**Prangko Cetakan Wina, adalah prangko-prangko yang dicetak di Wina untuk membantu menyokong Kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun keberadaan prangko tersebut masih dipertanyakan apakah benar-benar pernah dipakai sebagai tanda lunas pengiriman surat melalui kantor pos, tetapi prangko yang dicetak di Wina (Austria) dan New York (Amerika Serikat) itu tetap menjadi bagian dari koleksi para kolektor prangko. alert-info

Tulisan Kak Berthold/info/button  

wYMzmJ.jpgKisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success

Post a Comment

أحدث أقدم
close
tunasmandiricorp