Serial Kisah Pramuka : Benny

Serial Kisah Pramuka : Benny

BENNY

Benny, Unang, dan Wawan, akhirnya bersepakat. Mereka akan pergi berkelana ke Gunung Tangkuban Perahu dengan menggunakan sepeda. Sebelumnya, ketiga pandu penuntun dari Pandoe Kebangsaan itu sempat terlibat dalam percakapan cukup panjang.

Benny menawarkan untuk ke sana dengan sepeda. Namun, Unang tak begitu sependapat. Apalagi Unang juga tak mempunyai sepeda. Meskipun Benny menawarkan meminjamkan sepeda milik kakaknya, tetapi Unang yang merasa belum begitu mahir bersepeda, masih enggan menerima tawaran itu.

BACA JUGA :
1. Serial Kisah Pramuka : Astrid
2. Serial Kisah Pramuka : ITA
3. Serial Kisah Pramuka : Intan

Wawan juga tak langsung sepakat untuk bersepeda ke Tangkuban Perahu. “Jalannya terjal, mendaki. Lagipula banyak jalannya yang sulit dilalui, mesti melewati hutan yang penuh tanaman berduri,” ujar Wawan memberi alasan.

Sebenarnya jarak dari kawasan Dago di Bandung menuju Tangkuban Perahu tidak terlalu jauh. Hanya kurang dari 30 kilometer saja. Namun, jalannya menanjak terus dan beberapa bagian masih sulit dilalui kendaraan. Jalan desa yang cukup licin di kala hujan, dan harus pula melewati hutan kecil sebelum sampai ke Tangkuban Perahu.

Mereka memilih untuk berangkat dari Dago, karena tempat itu merupakan Gilwell Park* di Hindia-Belanda**. Tempat pendidikan kepanduan itu dilengkapi dengan bumi perkemahan dan berbagai fasilitas pendidikan di alam terbuka. Mereka akan membawa bendera Pandoe Kebangsaan untuk berkelana ke Tangkuban Perahu.

Pilihan untuk berkelana ke Tangkuban Perahu bermula dari malam api unggun yang diselenggarakan di Gilwell Park Dago itu. Kak Soepangkat, seorang pembina pandu yang cukup senior, bercerita tentang Sang Kuriang. Kisah legenda yang disebut-sebut sebagai asal terjadinya Gunung Tangkuban Perahu.

“Pada sekitar abad ke-16, ada seorang bangsawan, Pangeran Jaya Pakuan yang juga sering disebut Pangeran Bujangga Manik, berkelana mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di sekitar Pulau Jawa dan Bali,” jelas Kak Soepangkat mengawali ceritanya,”Nah, ketika sampai di Bandung ini, Bujangga Manik menuliskan syair yang kemudian menjadi bagian dari naskah dari daun lontar.”


“Leumpang aing ka baratkeun

Datang ka Bukit Patenggeng

Sakakala Sang Kuriang

Masa dek nyitu Citarum

Burung tembey kasiangan.***”


Sang Kuriang yang kesal karena merasa diperdaya saat sedang membangun apa yang dimintakan Dayang Sumbi, kekasih hatinya yang tanpa diketahui adalah ibunya sendiri, lalu menendang perahu yang sudah selesai dibuatnya. Perahu itu terlempar lalu jatuh terbalik. Begitulah legenda tentang Gunung Tangkuban Perahu lahir.

Cerita Kak Soepangkat memang tidak hanya itu. Dia bercerita panjang lebar dan diselingi beberapa nyanyian yang membuat kisahnya menjadi semakin menarik bagi para pandu dan pembina pandu yang mengelilingi api unggun di Dago. Inilah yang menyebabkan Benny, Unang, dan Wawan, akhirnya memutuskan berkelana untuk melihat langsung Gunung Tangkuban Perahu yang selama ini baru mereka lihat dari foto-foto saja.

Perjalanan ke sana memang tak mudah. Tak ada angkutan umum menuju tempat itu. Otobus-otobus yang ke sana, hanya sampai di Lembang. “Untung kita naik sepeda,” ujar Unang akhirnya.

Tentu saja Unang pantas merasa beruntung, karena bila berjalan kaki tentu akan lebih lama baru sampai di Tangkuban Perahu. Tetapi naik sepeda pun tak mudah. Beberapa kali ketiga remaja itu terpaksa turun dan menuntun sepeda mereka, karena tanjakan begitu terjal dan jalan licin. Di tempat lain, jalan berbatu kerikil dan sebagian masih ditutupi batu-batu cukup besar, menyulitkan pula mereka untuk mengendarai sepeda.

Namun yang paling menyesakkan napas, ketika mereka makin mendekat ke Gunung Tangkuban Perahu. Bau belerang begitu menyengat. Benny bahkan sampai muntah, tak tahan dengan bau belerang itu. Terduduk di pinggir jalan setapak dengan sepeda yang digeletakkan begitu saja di sampingnya, Benny yang sudah menutupi sebagian besar wajahnya dengan handuk yang dibawanya, menunduk lesu.

Unang dan Wawan yang khawatir keselamatan temannya, lalu mengusulkan untuk pulang saja dan segera meninggalkan tempat itu. Namun, Benny menolak. “Tunggu sebentar. Biar saya membiasakan diri dengan bau belerang itu,” ujarnya.

Setelah ketiganya beristirahat sejenak dan meminum teh manis dari veldvles**** masing-masing, Benny mengajak Unang dan Wawan untuk melanjutkan perjalanan. Sayang sekali, perjalanan masih saja mengalami hambatan. Hanya sekitar satu kilometer lebih menjelang tujuan, jalan yang ada makin sulit dilalui.

“Jangan ke sana, berbahaya,” cegah seorang lelaki, penduduk desa yang baru mengangkut kayu bakar.

Benny, Unang, dan Wawan, akhirnya memutuskan meninggalkan sepeda di situ. Menitipkan pada lelaki pengangkut kayu bakar. Mereka lalu berjalan kaki dan akhirnya mencapai lokasi tujuan mereka. Meskipun cukup sulit, mereka masih dapat melihat kawah gunung yang mengeluarkan asap belerang terus-menerus.

Tak tahan berlama-lama di situ, ketiganya kembali ke tempat mereka menitipkan sepeda. Setelah mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu dan Benny sempat memberikan kenang-kenangan salah satu kausnya, ketiga remaja itu kemudian kembali bersepeda menuju Dago.

Namun, ternyata perjalanan pulang tak semudah yang mereka bayangkan. Kabut telah turun dan menyulitkan pandangan mereka, sampai Benny menyadari dia hanya seorang diri bersepeda di sebuah jalan kecil yang tak dikenalnya.

“Unang, Wawan.” Benny berteriak memanggil kedua temannya, tetapi tak ada jawaban.

Benny justru bertemu dengan seekor babi hutan. Melihat kedatangan hewan itu, Benny mempersiapkan pisau belati yang selalu dibawanya pada setiap kegiatan kepanduan. Berjaga-jaga bila diserang babi hutan itu. Namun, tampaknya sang babi hutan tak bermaksud menyerangnya. Dia hanya memandang ke arah Benny. Di samping babi hutan itu, muncul seekor anjing. Sama seperti si babi hutan, anjing itu hanya menatap saja ke arah Benny.

“Wayungyang dan Tumang,” ujar Benny mengingat kembali kisah Sang Kuriang yang diceritakan Kak Soepangkat. Wayungyang adalah nama si babi hutan, sedangkan Tumang adalah nama si anjing. Alkisah, seorang dewi dan seorang dewa berbuat kesalahan di khayangan, lalu dihukum Sang Hyang Tunggal dan dikutuk turun ke bumi dalam bentuk hewan. Sang dewi menjadi Wayungyang dan sang dewa menjadi Tumang.

Di depan Benny, kedua hewan itu melangkah. Mereka berjalan beriringan ke arah jalan yang melandai turun. Benny mengikutinya dari belakang, sampai kedua hewan itu tiba di sebuah sungai dan minum air di sana. Melihat sungai itu, Benny melonjak gembira. Dia ingat sungai ini yang dilewatinya tadi bersama Unang dan Wawan saat menuju Tangkuban Perahu.

Belajar dari latihan pengamatan di kepanduan, Benny langsung hafal jalan setapak di samping sungai itu. Bersepeda, Benny menyusuri jalan itu sampai akhirnya dia tiba di jalan besar.

“Benny!”

Unang dan Wawan berteriak hampir bersamaan melihat kedatangan Benny.

“Untunglah, saya menemukan jalan pulang. Saya ditolong Wangyungyang dan Tumang tadi,” ujar Benny.

Unang dan Wawan tergelak. Mana mungkin hewan dalam legenda Sang Kuriang tiba-tiba datang dan menolong menunjukkan jalan kepada Benny.

“Aya aya wae***** kamu, Ben,” ledek Unang.

Catatan Kaki:
*Gilwell Park adalah nama pusat pelatihan gerakan pendidikan kepanduan bagi calon-calon pembina pandu di Inggris, tempat lahirnya gerakan tersebut. Di banyak negara, didirikan pula tempat serupa, termasuk di Hindia-Belanda, yang terdapat di kawasan Dago, Bandung.
**Hindia-Belanda adalah nama Indonesia sebelum merdeka.
***Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (tiba ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (semasa akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tetapi gagal karena kesiangan).
***Veldvles adalah tempat minum, yang pada zaman Hindia-Belanda biasanya terbuat dari kaleng, dan digantung di ikat pinggang orang yang membawanya.
*****Aya aya wae adalah kalimat dalam Bahasa Sunda yang artinya ada ada saja alert-info



Tulisan Kak Berthold/info/button  wYMzmJ.jpgKisah ini merupakan tulisan semi dokumenter, tulisan yang diangkat dari kisah sebenarnya, bersumber dari sejarah Gerakan Pendidikan Kepanduan di Indonesia. alert-success


Post a Comment

أحدث أقدم
close
tunasmandiricorp